RIFAN FINANCINDO - Harga emas berjangka turun pada perdagangan penutupan Februari. Namun jika dihitung dari awal bulan, harga logam mulia ini masih mampu menguat.
Mengutip marketwatch, Rabu (1/3/2017), harga emas untuk pengiriman April turun US$ 4,90 atau 0,4 persen ke level US$ 1.253,90 per ounce. Sedangkan pada bulan ini, harga emas untuk kontrak April, merupakan kontrak yang paling aktif diperdagangkan, mampu naik 3,5 persen.
Pada Februari, harga emas sempat menyentuh US$ 1.258,80 pada hari Senin kemarin dan merupakan level tertinggi sejak 10 November.
"Ketidakpastian kembali hadir dan meningkatnya risiko geopolitik di beberapa negara mendorong aksi beli pada aset-aset safe haven seperti emas," jelas analis FXTM, Lukman Otunuga.
"Logam mulia masih akan kembali menguat jika melihat dari data-data yang ada. Jika Dolar AS terus terdepresiasi maka penguatan harga emas bakal cukup tajam.
Namun memang, pada perdagangan Selasa para pelaku pasar sedikit berhati-hati. Hal tersebut yang membuat harga emas turun pada perdagangan di akhir Februari. Alasannya, mereka lebih memilih untuk menunggu pidato Presiden AS Donald Trump di depan kongres.
Para analis melihat bahwa harga emas akan bisa mempertahankan keperkasaan dan kembali mencetak rekor teringgi jika memang sinyal dari Trump mengenai pemotongan pajak tak segera keluar.
"Emas bisa menyentuh US$ 1.300 per ounce dalam beberapa bulan ke depan," jelas Analis AvaTrade Adrienne Murphy.
Namun memang, selain Trump, Kenaikan suku bunga Bank Sentral AS juga menjadi penekan harga emas. Jika Bank Sentral AS tak menaikkan suku bunga pada Maret ini maka harga emas bisa melonjak. Namun jika menaikkan maka penguatan emas tertahan.
Mengutip marketwatch, Rabu (1/3/2017), harga emas untuk pengiriman April turun US$ 4,90 atau 0,4 persen ke level US$ 1.253,90 per ounce. Sedangkan pada bulan ini, harga emas untuk kontrak April, merupakan kontrak yang paling aktif diperdagangkan, mampu naik 3,5 persen.
Pada Februari, harga emas sempat menyentuh US$ 1.258,80 pada hari Senin kemarin dan merupakan level tertinggi sejak 10 November.
"Ketidakpastian kembali hadir dan meningkatnya risiko geopolitik di beberapa negara mendorong aksi beli pada aset-aset safe haven seperti emas," jelas analis FXTM, Lukman Otunuga.
"Logam mulia masih akan kembali menguat jika melihat dari data-data yang ada. Jika Dolar AS terus terdepresiasi maka penguatan harga emas bakal cukup tajam.
Namun memang, pada perdagangan Selasa para pelaku pasar sedikit berhati-hati. Hal tersebut yang membuat harga emas turun pada perdagangan di akhir Februari. Alasannya, mereka lebih memilih untuk menunggu pidato Presiden AS Donald Trump di depan kongres.
Para analis melihat bahwa harga emas akan bisa mempertahankan keperkasaan dan kembali mencetak rekor teringgi jika memang sinyal dari Trump mengenai pemotongan pajak tak segera keluar.
"Emas bisa menyentuh US$ 1.300 per ounce dalam beberapa bulan ke depan," jelas Analis AvaTrade Adrienne Murphy.
Namun memang, selain Trump, Kenaikan suku bunga Bank Sentral AS juga menjadi penekan harga emas. Jika Bank Sentral AS tak menaikkan suku bunga pada Maret ini maka harga emas bisa melonjak. Namun jika menaikkan maka penguatan emas tertahan.
Kekhawatiran Peningkatan Pasokan di AS Tekan Harga Minyak
Harga minyak tergelincir pada perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta) karena kekhawatiran dari pelaku pasar akan peningkatan persediaan minyak di Amerika Serikat (AS).
Mengutip Reuters, Rabu (1/3/2017), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate turun 4 sen atau 0,1 persen ke level US$ 54,01 per barel dan minyak mentah Brent turun 34 sen atau 0,6 persen ke angka US$ 55,59 per barel.
Stok minyak mentah di AS terus meningkat dalam tujuh pekan berturut-turut dan diperkirakan pada pekan kedelapan ini akan mencapai 2,9 juta barel. Peningkatan stok minyak ini memicu kekhawatiran pelaku pasar bahwa pasokan yang ada akan lebih tinggi dari permintaan pasar. Tentu saja, jika hal tersebut terjadi maka akan menekan harga minyak.
American Petroleum Institute bakal mengeluarkan data persediaan minyak mentah pada selasa malam waktu AS sedangkan pemerintah AS sendiri akan megeluarkan data pada Rabu pagi waktu setempat.
Pendorong kenaikkan harga minyak selama ini adalah kepatuhan dari negara-negara pengekspor minyak atau The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) menjalankan kesepakatan pemotongan produksi.
Pada Akhir November lalu OPEC membuat kesepakatan untuk mengurangi produksi dan kesepakatan tersebut akan berjalan selama enam bulan sejal Awal Januari lalu hingga Juni nanti.
Memang, pengurangan produksi tersebut belum sesuai dengan target. Data OPEC menunjukkan bahwa realisasi dari penguatan produksi tersebut baru mencapai 80 persen. Uni Emirat Arab dan Irak menjadi dua negara yang belum bisa mencapai target tetapi mereka berjanji untuk bisa menjalankan kesepakatan sesuai dengan target.
Sejak kesepakatan berlangsung hingga saat ini, harga minyak mampu naik US$ 10 per barel dan rentang harga berada di kisaran yang sempit kurang lebih di angka US$ 3.
"Tanpa kepatuhan dari OPEC dan beberapa produsen minyak non-OPEC yang ikut dalam perjanjian tersebut, atau jika hanya melihat permintaan selama ini maka harga minyak sulit untuk naik," jelas Kepala Riset Tradition Energy, Stamford, Connecticut, AS, Gene McGillian.
Ia melanjutkan, memang ada risiko bahwa pelaku pasar akan melakukan aksi jual tetapi risiko itu tak terlalu besar. Gene McGillian memberkirakan harga minyak akan stabil di posisi saat ini.
Mengutip Reuters, Rabu (1/3/2017), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate turun 4 sen atau 0,1 persen ke level US$ 54,01 per barel dan minyak mentah Brent turun 34 sen atau 0,6 persen ke angka US$ 55,59 per barel.
Stok minyak mentah di AS terus meningkat dalam tujuh pekan berturut-turut dan diperkirakan pada pekan kedelapan ini akan mencapai 2,9 juta barel. Peningkatan stok minyak ini memicu kekhawatiran pelaku pasar bahwa pasokan yang ada akan lebih tinggi dari permintaan pasar. Tentu saja, jika hal tersebut terjadi maka akan menekan harga minyak.
American Petroleum Institute bakal mengeluarkan data persediaan minyak mentah pada selasa malam waktu AS sedangkan pemerintah AS sendiri akan megeluarkan data pada Rabu pagi waktu setempat.
Pendorong kenaikkan harga minyak selama ini adalah kepatuhan dari negara-negara pengekspor minyak atau The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) menjalankan kesepakatan pemotongan produksi.
Pada Akhir November lalu OPEC membuat kesepakatan untuk mengurangi produksi dan kesepakatan tersebut akan berjalan selama enam bulan sejal Awal Januari lalu hingga Juni nanti.
Memang, pengurangan produksi tersebut belum sesuai dengan target. Data OPEC menunjukkan bahwa realisasi dari penguatan produksi tersebut baru mencapai 80 persen. Uni Emirat Arab dan Irak menjadi dua negara yang belum bisa mencapai target tetapi mereka berjanji untuk bisa menjalankan kesepakatan sesuai dengan target.
Sejak kesepakatan berlangsung hingga saat ini, harga minyak mampu naik US$ 10 per barel dan rentang harga berada di kisaran yang sempit kurang lebih di angka US$ 3.
"Tanpa kepatuhan dari OPEC dan beberapa produsen minyak non-OPEC yang ikut dalam perjanjian tersebut, atau jika hanya melihat permintaan selama ini maka harga minyak sulit untuk naik," jelas Kepala Riset Tradition Energy, Stamford, Connecticut, AS, Gene McGillian.
Ia melanjutkan, memang ada risiko bahwa pelaku pasar akan melakukan aksi jual tetapi risiko itu tak terlalu besar. Gene McGillian memberkirakan harga minyak akan stabil di posisi saat ini.
Sumber : liputan6.com
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.