PT Rifan Financindo Berjangka - Harga minyak dunia kembali terperosok pada perdagangan Kamis
(8/3), waktu Amerika Serikat (AS). Penurunan disebabkan oleh sejumlah faktor
mulai dari penguatan dolar AS, sinyal kenaikan persediaan di hub penyimpanan
Cushing, Oklahoma, kenaikan produksi minyak mentah AS, hingga kekhawatiran
investor terhadap potensi perang dagang.
Dilansir dari Reuters Jumat (9/3), harga minyak mentah
berjangka Brent merosot US$0,73 atau 1,1 persen menjadi US$63,61 per barel.
Penurunan lebih dalam terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas
Intermediate (WTI), yaitu sebesar US$1,03 atawa 1,7 persen menjadi US$60,32 per
barel.
Secara mingguan, Brent berpotensi akan melorot sekitar 0,8
persen pekan ini, setelah pekan lalu terseret 4,4 persen. Sementara, WTI
diperkirakan melorot 1,5 persen, setelah pekan lalu amblas 3,6 persen.
"Sepertinya harga minyak mentah telah mencapai
puncaknya dan sekarang mengarah ke level lebih rendah," ujar Kepala Analis
Teknis United-ICAP Walter Zimmerman.
Zimmerman memperkirakan harga minyak mentah bergerak menuju
level terendah pada awal Februari, yaitu US$62 per barel untuk harga Brent dan
US$57 per barel untuk WTI.
"Dan saya tidak yakin bahwa level-level tersebut bakal
bertahan," ujarnya.
Indeks dolar AS menguat 0,6 persen melawan mata uang
beberapa negara. Penguatan dolar mengakibatkan harga komoditas yang
diperdagangkan dengan dolar AS, seperti minyak, menjadi relatif semakin mahal
bagi pemegang mata uang lain.
Tekanan pada harga minyak mentah juga berasal dari data
perusahaan analisis pasar Genscape yang diungkap oleh para pelaku pasar. Data
tersebut menunjukkan kenaikan persediaan pada hub penyimpanan Cushing,
Oklahoma, sebesar 290 ribu pada pekan yang berakhir 6 Maret 2018.
Kenaikan tersebut, jika terkonfirmasi oleh data resmi, bakal
menjadi kenaikan pertama dalam 12 minggu di Cushing, di mana persediaan lebih
dari separuh sejak November 2017.
Berdasarkan data Badan Administrasi Informasi Energi AS
(EIA) yang dirilis Rabu lalu, produksi minyak mentah AS mencetak rekor hampir
menyentuh 10,4 juta barel per hari (bph) sepanjang pekan lalu.
Sentimen terhadap AS yang memantik perang dagang global juga
memberikan tekanan pada harga.
"Hingga masalah tarif AS terselesaikan, kami rasa ada
pemicu penurunan tajam yang baru pada pasar modal dan dapat dengan mudah
merembes pada pasar minyak," terang Jim Ritterbusch, Presiden perusahaan
penasihat perminyakan Ritterbusch & Associates.
Produksi minyak diperkirakan melampaui 11 juta bph pada
akhir 2018, membatasi efektivitas kesepakatan pemangkasan produksi yang
dilakukan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, termasuk
Rusia.
Di sisi lain, impor minyak mentah dari China pada Februari
lalu juga dilaporkan menurun. Hal itu juga ikut membebani harga minyak.
Goldman Sachs merilis ulang proyeksi permintaan minyak
global untuk tahun ini sebesar 1,85 juta bph. Proyeksi itu dibuat meskipun ada
sinyal perlambatan tipis baru-baru ini yang ditunjukkan oleh kuatnya permintaan
di awal tahun dan pola laju permintaan pada kuartal II.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com








0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.