PT Rifan Financindo Berjangka - PT Bank Muamalat Indonesia Tbk seperti halnya perbankan
umum, memiliki kegiatan utama menyalurkan pembiayaan. Permasalahannya,
pembiayaan yang disalurkan tidak kembali lancar ke kantong perusahaan.
Akibatnya, rasio pembiayaan bermasalah meningkat.
Kondisi pembiayaan macet (non performing finance/NPF) juga
dialami bank-bank syariah lain. Pada 2016 lalu, rata-rata rasio pembiayaan
macet bank syariah mencapai 5,68 persen atawa di atas ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).
Dalihnya, harga komoditas rontok dan lesunya sektor riil.
Maklumlah, banyak bank syariah bertumpu pada sektor riil ini.
Alarm NPF Bank Muamalat yang sudah menyala sejak 2013 pun
berbunyi semakin kencang. Bahkan, pada 2015 NPF perusahaan menyentuh level
tertingginya, yaitu 7,11 persen dengan nominal Rp2,89 triliun.
Perusahaan terpaksa merogoh kocek dalam-dalam untuk
mengobati pembiayaan macetnya. Saat itu, perusahaan mengeluarkan Rp303 miliar
untuk melakukan hapus buku (write off). Kemudian, demi menurunkan pembiayaan
macet yang tersisa, perusahaan kembali merogoh kocek hingga Rp683 miliar untuk
hapus buku di 2016 lalu.
Seketika pembiayaan macet Bank Muamalat menciut menjadi
hanya Rp1,14 triliun. Namun, efek samping aksi hapus buku tersebut meninggalkan
persoalan bar, yaitu, permodalan cekak.
Berdasarkan laporan keuangan September 2017, rasio
pembiayaan macet perusahaan kumat menjadi 4,54 persen. Di sisi lain, rasio
kecukupan modalnya tercatat turun menjadi 11,58 persen.
Sumber CNNIndonesia.com menyebut, permasalahan NPF pada Bank
Muamalat tak hanya disebabkan imbas dari anjloknya harga komoditas dan
melemahnyq sektor riil. Pengelolaan bank yang kurang hati-hati juga menjadi
penyebab.
Sebagai bank tertua di Indonesia, masih menurut sumber
tersebut, Bank Muamalat sering kali ingin menjadi yang terdepan dalam
mengembangkan produk. Walhasil, produk-produk yang diterbitkan cenderung
memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan bank syariah lainnya. Sayangnya,
manajemen lengah dalam mengelola risiko produk.
Salah satu contoh produk yang memiliki risiko relatif tinggi
adalah produk pembiayaan mudharabah muthlaqoh. Mudharabah muthlaqoh adalah
pembiayaan dengan skema bagi hasil, di mana cakupan kegiatan usahanya tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai
permintaan pemilik dana.
Pada 2016, perusahaan mulai mengurangi produk pembiayaan
mudharabah-nya. Penyaluran pembiayaan mudharabah tercatat turun 24,56 persen
dari Rp1,05 triliun pada 2015 menjadi Rp794 miliar.
Dalam laporan keuangannya, manajemen menyebut, pengurangan
portofolio dilakukan guna menjaga kualitas pembiayaan perseroan. Namun, pada
September 2017 lalu, pembiayaan mudharabah perusahaan malah tercatat kembali
meningkat mencapai Rp853 miliar.
Tingginya rasio pembiayaan macet yang berdampak pada
menipisnya kantong permodalan perseroan pun membuat OJK gerah. Wasit industri
keuangan itu mengaku sudah meminta pemegang saham pengendali (PSP) Bank
Muamalat untuk menyuntikkan permodalan.
"Ada radang-radang sedikit. NPF-nya sudah melebih
treshold (batas aman), jadi ya kami minta (Bank Muamalat) menambah modal,"
ungkap Wimboh, belum lama ini.
Menanggapi permintaan OJK, Direktur Utama Bank Muamalat
Achmad Permana mengaku, penambahan modal menjadi salah satu fokus perseroan
dalam jangka pendek. Tambahan permodalan dibutuhkan guna melakukan ekspansi dan
menurunkan NPF perseroan.
"Hapus buku (pembiayaan macet) akan sangat bergantung
pada berapa modal yang kami miliki dan apakah investor mendukung. Kalau oke,
tentu hapus buku bisa kami lakukan," terang Permana.
Penambahan modal, sambung dia, terutama dibutuhkan untuk
mendorong pembiayaan. Dengan begitu, rasio NPF dapat berangsur turun, seiring
total pembiayaan yang menjadi pembilang perhitungan rasio NPF meningkat.
Permana menjelaskan, salah satu penyebab utama meningkatnya
rasio pembiayaan macet perusahaan pada tahun lalu adalah tidak bertumbuhnya
penyaluran pembiayaan. Hingga September 2017, total pembiayaan bank syariah
tersebut mencapai Rp40,99 triliun, cuma naik tipis dibanding posisi akhir 2016
sebesar Rp40,01 triliun.
"NPF komponennya ada dua, yakni pembilangnya kredit
bermasalah dan penyebut total pembiayaan. Jadi, ketika bank tidak melakukan
ekspansi pembiayaan, rasio NPF-nya akan meningkat. Saat ini, kami ada
pembayaran (run off) angsuran Rp1 triliun per bulan, tetapi tak banyak
pembiayaan baru" tutur dia.
Di samping itu, restrukturisasi pembiayaan, juga tetap akan
dilakukan Bank Muamalat pada debitur-debitur yang dinilai masih memiliki
potensi.
Tak Ada 'Kemewahan'
Pengamat Perbankan Syariah Adiwarman Karim menyebut,
restrukturisasi pembiayaan pada perbankan syariah berlangsung cukup lambat
dibanding bank konvensional karena beberapa faktor. Faktor tersebut, antara
lain, yakni kemampuan untuk membukukan pembiayaan dalam jumlah besar dan
permodalan yang minim.
"Bank syariah tidak punya beberapa 'kemewahan' yang
dimiliki bank konvensional. Kalau bank konvensional mungkin bisa kasih kredit
ke korporasi yang besar, sehingga total kreditnya cepat naik. Permodalan mereka
juga besar, sehingga bisa membuat unit pengelolaan aset bermasalah sendiri atau
hapus buku," ungkap dia.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah juga menyebut,
permodalan menjadi salah satu hambatan bagi sebagian besar bank syariah,
termasuk Bank Muamalat, dalam menangani NPF.
"Proses restrukturisasi bank syariah ini sebenarnya tak
berbeda dengan bank konvensional, tetapi memang biasanya bank syariah terbatas
pada permodalan. Modal mereka relatif lebih kecil dari bank-bank
konvensional," pungkasnya.
Sumber : https://cnnindonesia.com








0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.